Menyelami Dunia Friends with Benefits

Ilustrasi Friends with Benefits. (Foto : Brides)
Ilustrasi Friends with Benefits. (Foto : Brides)

GERAK.ID (Editorial) – Di era di mana kebebasan individu semakin mendapat tempat, berbagai bentuk hubungan mulai bermunculan. Salah satu yang cukup banyak diperbincangkan adalah Friends with Benefits (FWB).

Hubungan ini melibatkan dua orang yang berteman, tapi juga memiliki kedekatan fisik tanpa adanya komitmen romantis.

Meskipun masih jadi kontroversi di banyak kalangan, sebagian orang melihat FWB sebagai bentuk kebebasan berekspresi yang sah, selama dijalani secara sadar dan saling sepakat.

Banyak orang merasa terbebani dengan ekspektasi dalam hubungan pacaran konvensional. Harus memberi kabar setiap hari, harus bertemu, harus memperkenalkan ke keluarga, dan harus punya rencana jangka panjang.

Di sinilah FWB dianggap jadi “jalan tengah”. Hubungan ini memberikan ruang untuk tetap terhubung secara intim, tapi tanpa embel-embel status atau tuntutan yang mengikat.

Baca Juga :  Mengenal Kepribadian Koleris : Logika, Tanggung Jawab, dan Kesepian

Mereka yang menjalani FWB percaya bahwa kedekatan tidak selalu harus diikat dengan cinta, dan cinta tidak selalu harus berujung pada kepemilikan.

Salah satu fondasi utama dalam FWB adalah kesepakatan yang jelas. Tidak hanya soal batasan fisik, tapi juga batasan emosional.

Misalnya, tidak boleh cemburu, tidak berharap lebih, dan tidak mencampuradukkan urusan pribadi yang bisa memicu keterikatan.

Kedua pihak harus sama-sama dewasa secara emosi dan mental, serta sadar bahwa hubungan ini bisa berakhir kapan saja, tanpa drama.

Dalam pandangan ini, FWB tidak lebih buruk dari hubungan pacaran yang toxic. Justru, karena dia berjalan di atas dasar kejujuran dan keterbukaan, FWB dianggap lebih jujur—tidak menyembunyikan maksud dan tidak memaksakan rasa.

Baca Juga :  Bukan Aib, Tantrum di Usia Remaja Adalah Alarm Luka Batin yang Belum Sembuh

Namun, kebebasan tidak berarti tanpa tanggung jawab. Hubungan FWB yang sehat tetap butuh komunikasi yang matang, saling menghormati, dan tentu saja kesadaran akan risiko.

Selain risiko secara emosional, ada pula risiko kesehatan seksual yang harus diperhatikan. Karena itu, banyak yang menekankan pentingnya edukasi seksual, pemeriksaan rutin, dan kesepakatan soal eksklusivitas atau keterbukaan pasangan.

Meski terdengar simpel di atas kertas, kenyataan di lapangan sering kali tidak semudah itu. Tidak semua orang bisa memisahkan perasaan dan fisik. Seiring waktu, kedekatan fisik bisa memicu keterikatan emosional.

Jika salah satu mulai merasa lebih dari sekadar teman, dan yang lain tidak merasakan hal yang sama, maka hubungan ini bisa jadi menyakitkan. Inilah titik lemah FWB yang sering diabaikan: kita tidak bisa mengontrol perasaan.

Baca Juga :  Soul Crossing: Hadiah Singkat dari Semesta untuk Jiwa yang Lelah

Akhirnya, FWB adalah pilihan. Bukan benar atau salah, tapi tentang cocok atau tidak. Selama dijalani oleh dua orang dewasa yang sadar konsekuensi dan menjunjung rasa hormat satu sama lain, FWB bisa jadi bentuk hubungan yang sah secara personal—meskipun belum tentu bisa diterima secara sosial.

Namun, penting juga untuk selalu introspeksi. Apakah hubungan ini memberi dampak baik secara emosional? Apakah ini benar-benar pilihan sadar, atau pelarian dari luka lama? Karena di balik konsep kebebasan, kita tetap manusia yang butuh rasa aman, dihargai, dan dicintai—dalam bentuk yang paling jujur, apa pun namanya.