GERAK.ID – Beberapa tahun terakhir, istilah anak skena makin sering terdengar. Mereka adalah anak muda yang lekat dengan dunia musik indie, seni jalanan, dan budaya urban yang berakar dari kebebasan berekspresi.
Tapi bukan cuma soal komunitas atau tongkrongan. Salah satu hal paling mencolok dari anak skena adalah gaya berpakaiannya—unik, kadang terkesan asal-asalan, tapi sebenarnya penuh makna.
Outfit anak skena bukan cuma demi terlihat keren di depan kamera atau buat pamer di media sosial. Gaya berpakaian mereka adalah bentuk bahasa visual.
Lewat busana, mereka menyampaikan siapa mereka, apa yang mereka suka, bahkan nilai-nilai apa yang mereka pegang.
Fashion bagi mereka bukan produk komersil semata, tapi alat untuk membentuk dan menyuarakan identitas.
Berikut ini lima elemen khas dalam outfit anak skena yang bukan hanya tren, tapi juga punya filosofi di baliknya.
1. Oversized Tee, Simbol Anti-Arus Utama
Kaos kebesaran bukan hanya tren musiman, tapi sudah jadi ciri khas anak skena. Mereka sering memakai kaos band favorit—entah lokal atau luar negeri—dengan desain yang terkesan urakan.
Ukurannya yang jauh dari pas badan menunjukkan penolakan terhadap standar fashion yang kaku dan serba rapih.
Oversized tee juga menyiratkan sikap santai dan nggak peduli penilaian orang. Buat anak skena, nyaman itu penting.
Tapi lebih dari itu, kaos ini jadi medium untuk menyampaikan selera musik, sikap hidup, dan solidaritas terhadap komunitas tertentu.
2. Celana Cargo atau Jeans Cacat, Bukan Sekadar Sobek
Kalau kamu lihat anak skena pakai celana sobek-sobek, jangan buru-buru nyangka itu karena nggak punya celana baru. Justru, sobekan itu adalah bagian dari estetika.
Jeans robek, celana kusut, atau cargo pants yang sudah belel adalah lambang bahwa mereka tidak takut terlihat berantakan.
Cargo pants dengan banyak saku mencerminkan sisi praktis sekaligus aktif. Sementara jeans sobek memperlihatkan semangat bebas, melawan norma-norma fashion yang seragam.
Setiap kerusakan di celana bisa jadi punya cerita sendiri—jatuh waktu nge-skate, duduk lama di lapangan konser, atau sekadar hasil eksperimen gaya pribadi.
3. Sepatu Converse, Dr. Martens, atau Boots Bekas
Sepatu bagi anak skena bukan cuma soal kenyamanan kaki, tapi juga tentang karakter.
Converse klasik, Docmart, atau boots kulit usang adalah pilihan umum. Menariknya, makin lusuh sepatu itu, makin besar nilainya secara simbolis.
Mereka bukan cari sepatu yang bersih mengilap, tapi sepatu yang “hidup”—yang udah melewati banyak perjalanan, dari gigs bawah tanah sampai demo jalanan.
Sepatu ini bukan simbol kemewahan, tapi tentang perjalanan panjang dan loyalitas pada gaya hidup yang diyakini.
4. Aksesori Unik: Dari Rantai Pinggang ke Totebag Bergambar Band
Aksesori bukan pelengkap kosong dalam dunia anak skena. Rantai pinggang, kalung dengan simbol aneh, gelang kain, totebag penuh pin, hingga kacamata hitam model retro—semuanya punya alasan.
Totebag, misalnya, sering dijadikan kanvas berjalan. Bergambar band lokal, kutipan lirik, atau hasil karya teman komunitas.
Aksesori ini memperkuat narasi personal anak skena, sekaligus jadi media promosi kreatif dan bentuk solidaritas antar sesama seniman jalanan.
5. Layering ala Grunge: Flannel, Hoodie, dan Jaket Denim
Gaya bertumpuk ala anak skena juga punya sejarah. Terinspirasi dari subkultur grunge tahun 90-an, mereka kerap memadukan hoodie belel dengan flannel yang diikat di pinggang, atau jaket denim dengan pin dan patch band.
Layering ini bukan soal mengikuti musim dingin (apalagi di Indonesia), tapi lebih ke menciptakan karakter.
Setiap lapisan menambahkan dimensi pada penampilan mereka.
Flannel bisa jadi warisan dari orang tua atau hasil thrifting, hoodie bisa dari merchandise band, dan jaket denim bisa jadi “kanvas” penuh cerita pribadi.
Outfit anak skena, pada akhirnya, adalah pernyataan sikap. Mereka tidak berpakaian untuk disukai semua orang. Mereka berpakaian untuk menunjukkan bahwa mereka berbeda, bahwa mereka punya dunia sendiri yang penuh warna, musik, dan semangat kebebasan.
Leave a Reply
View Comments